Kampung Kota

          Dalam konteks permukiman penduduk di kota, Indonesia memiliki tiga tipe permukiman, dimana tipe pertama merupakan tipe permukiman yang terencana (well-planned), dengan penataan infrastruktur dan fasilitas yang lengkap dan dapat dijangkau oleh kendaraan bermotor. Tipe kedua adalah tipe kampung, dengan rumah-rumah yang berada di dalam, kebanyakan tidak dapat dijangkau dengan mobil maupun motor. Tipe ini adalah tipe permukiman lama/asli kota-kota di Indonesia. Sedangkan tipe ketiga adalah permukiman pinggiran/kumuh (squatter) yang banyak bermunculan pada ruang-ruang marjinal kota, seperti tepi sungai atau di tanah milik negara. Tipe ini juga sering disebut dengan tipe kampung illegal (Sullivan, 1980).

     Kampung, dalam bahasa Melayu berarti sebuah kompoun tertutup (enclosed compound). Dalam bahasa Minangkabau, kampung berkaitan dengan kehidupan yang sarat dan konsisten akan penerapan nilai-nilai tradisional. Di Aceh, gampong merupakan keseluruhan komunitas di sebuah desa (Atman, 1974). Kampung sebagai sebuah enclosed compound di dalam kota memliki karakteristik tersendiri, di mana kehidupan sebuah desa (village) masih terdapat di dalamnya, yang masih nampak pada sistem sosial dan budaya yang mengikat. Akibatnya, keberadaan kampung ini mau tidak mau harus menjadi perhatian dan bagian dari kehidupan perkotaan, termasuk dalam proses perencanaan dan penataan kota. Hal ini tentunya mendorong kampung sebagai salah satu bagian pembentuk sebuah kota di Indonesia, sebagai bagian yang relevan atau sebuah alternatif pemecahan problem perkotaan.

          Kampung sebenarnya merupakan bentuk asli dari kota-kota di Indonesia. Terlepas dari formalitas bentuk maupun aturan-aturan pembangunan, kampung lebih menggambarkan segi humanitas dan urbanitas kehidupan kota yang saat ini mulai dicari kembali oleh negara-negara maju melalui konsep New Urbanism. Kampung kota merupakan fenomena yang banyak terjadi terutama di negara-negara berkembang, dimana pertumbuhan pola sosial dan budaya masyarakat berbeda dengan tuntutan kehidupan kota, jika dipandang dari sudut universalisme nilai dan kehidupan perkotaan modern. Dalam kampung kota tersirat adanya ke-‘padat’-an dan ‘kemiskinan’, dan sama-sama menyatakan bahwa kampung merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kota. Sebagai kesatuan integral kota, maka kampung merupakan salah satu komponen dalam pembentukan struktur kota, yaitu sebagai kawasan permukiman di dalam kota yang terbentuk tanpa perencanaan atau tumbuh sebelum perencanaan diterapkan tetapi memiliki nilai budaya, keunikan, dan karakter yang mengakar di antara penghuninya yang membedakan dengan permukiman yang banyak tumbuh sekarang ini. Permukiman yang banyak tumbuh sekarang mengisyaratkan kuatnya homogenitas penghuninya yang tentunya sangat berbeda dengan kampung.

          Propinsi Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang kental dengan keberadaan kampung kotanya, baik kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Pusat-pusat kota, dalam hal ini Wates di Kabupaten Kulon Progo menjadi sebuah kawasan dengan karakter kampung dimana "magnet" aktivitas berada di situ. Keberadaan pusat pemerintah, perdagangan, perkantoran menjadi "trigger" munculnya permukiman "kampung" di Wates. Yogyakarta International Airport (YIA) tentunya akan menjadi "magnet" lain yang akan memunculkan kawasan permukiman baru dimana besar kemungkinan didominasi oleh pendatang. Dalam hal ini, Kabupaten Kulon Progo harus siap dalam menciptakan kampung kota yang terencana (well-planned) ke depannya. Sehingga permukiman baru yang muncul memiliki karakter, kehidupan sosial budaya yang kuat seperti yang dimiliki kampung kota, akan tetapi juga memiliki penataan infrastruktur dan fasilitas penunjang yang lengkap, menjawab permasalahan kepadatan dan kemiskinan.